Likes: 0

Call Center : +112

BERITAMAGELANG.ID-Pasarean Agung Paremono merupakan makam kuna peninggalan era awal Kasultanan Mataram. Di kompleks makam yang berada di desa Paremono Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang ini ada makam Kyai Ageng Karotangan beserta keluarganya. Pemakaman ini dulu disebut Setana. Makam keluarga Kyai Ageng Karotangan berada di bagian paling utara. Makam trah ini berbeda dengan makam-makam yang lain. Makam kuna kerabat Kyai Ageng Karotangan telah diberi "tetenger" oleh Lembaga Dewan Adat Karaton Surakarta Hadiningrat yang ditandatangani Pengageng, Dra. GKR Koes Moertiyah Wandansari, M. Pd., pada tanggal 25 Ruwah 1952 Be atau 1 Mei 2019.


Kyai Ageng Karotangan masa kecil bernama Bagus Bancer. Dia adik kandung Kyai Ageng Pemanahan yang nama kecilnya Bagus Kacung. Tahun kelahirannya diperkirakan antara tahun 1431 - 1481 M. Mereka putra pasangan Nyi Ageng Henis dengan Kyai Ageng Henis, cucu Kyai Ageng Sela. Masa kecil Bagus Bancer berada di Sela, di daerah Purwodadi Grobogan. Watak dan kepribadiannya oleh sang kakek dididik dengan sangat disiplin, terutama ilmu agama dan tata susila. Salah satu ajaran sang kakek adalah Pepali Kyai Ageng Sela, yaitu ajaran kata-kata hikmah berupa wejangan berbudi luhur.


Bagus Bancer menerima ajaran moral dari Sunan Ampel yang sangat terkenal yaitu Moh Lima, artinya moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat dan moh madon. (moh di sini dari kata emoh yang artinya tidak mau). Ajaran ini oleh Bagus Bancer disempurnakan menjadi falsafah Hidup Sempurna Tanpa Cacat. Setelah dewasa Bagus Bancer menyiarkan agama Islam dan menolak jabatan di Kesultanan Pajang. Sang kakak, Kyai Ageng Pemanahan, tertarik untuk memperdalam ilmu agama Islam kepada Sunan Kalijaga bersama Ki Penjawi dan Ki Juru Mertani.


Kyai Ageng Pemanahan berhasil membuka Alas Mentaok pada tahun 1558, yang dulunya terkenal angker dan banyak dihuni binatang buas. Alas Mentaok kemudian menjadi desa yang berkembang. Kyai Ageng Pemanahan menginginkan babat alas Bumi Mentaok ini diperluas dan meminta bantuan adik kandungnya, Bagus Bancer atau Kyai Ageng Karotangan. Bagus Bancer diserahi tugas untuk membuka hutan di daerah barat Gunung Merapi. Daerah ini mencakup wilayah dataran Kedu dan sekitarnya. Daerah ini juga tak kalah angker dibanding Alas Mentaok di daerah Yogyakarta.


Bagus Bancer juga mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi. Dikisahkan, ketika Bagus Bancer membuka alas di kawasan Kedu, hanya menggunakan tangan kosong meski dia mempunyai senjata pusaka Kudi. Pekerjaan membabat hutan di daerah Kedu ini sampai wilayah yang sekarang disebut Wates di Magelang. Tempat ini sebagai batas Bagus Bancer membuka hutan. Julukan Kyai Ageng Karotangan ini karena dalam babat alas dia hanya dengan menggunakan tangan (bahasa Jawanya, "karo tangan"). Konon, menurut kisahnya, ketika dia merasakan kedua tangannya pegel-pegel, Kyai Ageng Karotangan beristirahat. Sambil istirahat dia memijat (nge-meg-meg) kedua tangannya. Setelah dipijat rasa pegalnya hilang. Untuk mengenang kejadian itu maka dia menamakan tempat itu Megelang maknanya "dimeg-meg pegele ilang" dan akhirnya menjadi Magelang.


Kyai Ageng Karotangan seusai babat alas pulang kembali ke Mataram. Namun ketika sampai di suatu wilayah di kaki barat Gunung Merapi, dia menjumpai beberapa mata air, yaitu Mataair Combrang dan Cebol di desa Paremono. Di sini dia melihat hamparan tanaman padi yang tumbuh subur. Dia bertemu dengan seorang petani warga desa itu bernama Kyai Jomblang. Kyai Ageng Karotangan heran, karena di daerah ini terdapat hamparan luas tanaman padi. Kemudian dia berkata, "Wis ana pari" (Sudah ada padi).


Versi ceritera yang lain menyebutkan, ketika Kyai Ageng Karotangan melihat banyak sumber air dengan tanah yang subur, kemudian dia pergi ke Kedu untuk minta bibit padi rajalele kepada Kyai Ageng Makukuhan. Permintaan itu dikabulkan dan disuruh mengambil sendiri bibit padi itu secukupnya. Dengan menggunakan tangan Kyai Ageng Karotangan mengambil bibit padi itu di sawah lereng Gunung Sumbing dan dilemparkan ke arah selatan. Lemparan bibit padi itu jatuh di dekat sungai kecil di perbatasan desa yang kini bernama Paremono dengan Rambeanak. Di sini bibit padi itu tumbuh subur dan menjadi tanaman andalan petani.


Menjumpai sebuah desa dengan pemandangan yang indah dan tanahnya subur, Kyai Ageng Karotangan dan para pengikutnya memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram di Mentaok. Dia memutuskan untuk bertempat tinggal di daerah ini. Kini daerah ini kini dikenal dengan nama desa Paremono, dari asal kata 'pari' (padi) dan 'ana' (ada), berubah menjadi "pariana" dan akhirnya paremana (yang ditulis Paremono).


Di Paremono ini Kyai Ageng Karotangan mulai aktif menyebarkan agama Islam ke beberapa daerah di sekitar Magelang. Dia berdakwah menyesuaikan petunjuk Dewan Walisanga. Kyai Ageng Karotangan juga mengajarkan cara bercocok tanam yang baik kepada warga desa. Dalam mengajarkan agama Islam, dia lebih banyak memberikan contoh. Warga memang tak langsung mengikutinya, tetapi saat hasil panennya benar-benar melimpah, tak sedikit warga yang minta diajari sholat dan memeluk agama Islam.


Dalam waktu singkat dia memperoleh banyak pengikut. Nama Kyai Ageng Karotangan semakin dihormati sebagai pemimpin agama yang juga mengajarkan ilmu pertanian. Kepiawaian Kyai Ageng Karotangan dalam bidang pertanian sampai sekarang menjadi warisan yang masih dilestarikan oleh warga desa Paremono. Disamping pengetahuan tentang bertani juga cara membuat berbagai jenis olahan makanan dengan bahan dari beras seperti wajik, jadah, krasikan, lopis, peyek cethol, tempe kripik dan sebagainya.


Pada tahun antara 1575 M - 1595 M, Kyai Ageng Karotangan wafat dan dimakamkan di Pagergunung (sekarang orang menyebutnya Gergunung), yang letaknya di antara dusun Sumping Wetan (Simping Wetan) dan Sumping Kulon (Simping Kulon). Karena dimakamkan di Pagergunung maka dia juga dijuluki Kyai Ageng Pagergunung. Sebutan ini ada yang berpendapat karena dia pernah bertempat tinggal di desa Pagergunung, Piyungan, Bantul. Dan ada pula yang mengatakan karena beliau dimakamkan di Pagergunung di desa Paremono. Alasan keduanya benar, karena fakta perjalanan sejarahnya membuktikan itu semua. Sepeninggal Kyai Ageng Karotangan, untuk dakwah agama Islam di sekitar daerah ini dilanjutkan oleh keponakannya yaitu Pangeran Singosari atau yang terkenal Raden Santri (putra kedua Kyai Ageng Pemanahan), yang makamnya ada di Puralaya Gunungpring, Muntilan.


Nyadran di Astana Luhur Paremono dilaksanakan pada setiap tanggal 25 bulan Ruwah dan tahun ini diselenggarakan hari Rabu Pahing tanggal 25 Ruwah 1957 Jimawal atau 6 Maret 2024 M. Acara Nyadran dengan membaca doa Tahlil bersama dan siraman rohani oleh K.H.Mahmudi dari dusun Badran desa Treko Kecamatan Mungkid. Untuk  menanamkan rasa cinta leluhur dan mengenalkan sejarah desa kepada generasi muda diselenggarakan lomba mewarnai dan melukis dengan tema Sejarah Desa Paremono. Lomba ini diikuti 120 anak murid Taman Kanak-Kanak dan SD Paremono, dengan yuri dari anggota Kagama Yogyakarta.


Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, Manteb Sudarsono, S.Pd., M. Pd., mengatakan, acara tradisi Nyadran yang dilaksanakan warga masyarakat di sini sejak ratusan tahun yang lalu adalah untuk melestarikan dan memuliakan makam Kyai Ageng Karotangan yang mempunyai nasab keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V yang merupakan leluhur Kasultanan Mataram. Sebagai cikal bakal desa Paremono Kyai Ageng Karotangan telah mewariskan kemakmuran kepada warga desa Paremono dengan tanah pertanian yang subur.

Amat Sukandar
Creator
  • Categories: Berita Magelang
  • Created At: Kamis, 7 Maret 2024